Sabtu, 30 Agustus 2025
Tragedi memilukan kembali menyentak nurani publik. Seorang driver ojek online (ojol), Alfan, meninggal dunia setelah tertabrak kendaraan taktis milik kepolisian saat terjadi aksi unjuk rasa di Jakarta. Peristiwa ini bukan sekadar angka statistik dalam catatan korban, tapi menjadi potret nyata bahwa di tengah dinamika sosial dan politik, nyawa manusia tetap harus menjadi prioritas utama.
Alfan adalah simbol dari jutaan rakyat kecil yang setiap hari bekerja keras demi menghidupi keluarga. Ia bukan provokator, bukan kriminal, hanya rakyat biasa yang menjadi korban dari situasi yang seharusnya bisa diantisipasi dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Kematian Alfan seharusnya menyadarkan kita semua—bahwa dalam setiap aksi penegakan hukum, harus selalu ada ruang bagi empati, perhitungan matang, dan pendekatan non-represif. Kendaraan taktis bukan hanya alat pengendali massa, tetapi juga simbol kekuasaan yang jika tidak digunakan secara bijak, bisa memakan korban jiwa yang tak bersalah.
Kita tak sedang menghakimi institusi manapun, tapi publik berhak mengkritisi penanganan massa yang masih cenderung keras dan kurang presisi. Penggunaan kendaraan berat dalam area sipil harus benar-benar diperhitungkan. Ketidaktepatan perhitungan atau koordinasi bukan hanya soal pelanggaran prosedur, tapi bisa berujung pada kehilangan nyawa manusia yang tak seharusnya menjadi korban.
Tentu, aparat memiliki tanggung jawab menjaga ketertiban. Tapi pendekatan represif, terutama dalam situasi demonstrasi damai atau yang melibatkan masyarakat sipil, harus menjadi opsi paling akhir—bukan yang pertama.
Kepada institusi kepolisian, terutama Mabes Polri dan jajaran Polda Metro Jaya, sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh. Mulai dari SOP penanganan aksi, pelatihan petugas di lapangan, hingga komunikasi dengan massa.
Kami juga menyarankan agar tragedi ini dijadikan momentum untuk membangun ulang kepercayaan publik. Caranya? Dengan transparansi dalam penanganan kasus, pemberian sanksi kepada oknum yang lalai, serta permintaan maaf terbuka kepada keluarga korban. Ini bukan soal citra, tetapi tentang keadilan dan rasa kemanusiaan.
Solidaritas dari Kobar: Pelajaran tentang Empati
Di tengah kabar duka ini, ada setitik cahaya dari Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Jumat malam, 29 Agustus 2025, halaman Mako Polres Kobar menjadi saksi bisu majelis doa yang penuh kehangatan dan kepedulian.
Komunitas ojol, tokoh agama, dan jajaran Polres Kobar bersatu dalam doa bersama dan Sholat Gaib untuk mendoakan almarhum Alfan. Diwakili oleh Wakapolres Kompol Rendra Aditia Dhani, kegiatan ini menunjukkan bahwa empati lintas institusi itu nyata dan sangat mungkin terjadi, bahkan di tengah luka sosial yang dalam.
Inisiatif ini adalah contoh bahwa tragedi bisa melahirkan solidaritas, bahwa kepolisian dan masyarakat, jika berjalan bersama dalam empati dan saling percaya, mampu menciptakan ruang yang lebih manusiawi dan adil bagi semua.
Penutup: Jangan Ada Lagi Alfan-Alfan Berikutnya
Kita semua berharap tragedi Alfan menjadi yang terakhir. Jangan biarkan ada lagi rakyat kecil yang harus pulang tinggal nama karena kelalaian sistem. Bangunlah kepolisian yang tegas tapi manusiawi, kuat tapi berjiwa besar. Karena pada akhirnya, keamanan sejati lahir dari kepercayaan rakyat—bukan dari rasa takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar