Probolinggo, SNN.com - Harapan Warga Menggantung di Atas Tali Usang Penghubung Kehidupan. Deru langkah kaki tak henti menapaki jembatan gantung yang kini menjadi satu-satunya nadi penghubung masyarakat Desa Sumbersecang. Setelah jembatan utama putus beberapa waktu lalu, seluruh beban mobilitas warga dialihkan pada jembatan darurat yang sejatinya hanya dirancang untuk maksimal 10 orang melintas dalam satu waktu.
Namun kini, jembatan tua itu harus menanggung beban 2.000 jiwa, setiap hari.
Seiring meningkatnya intensitas pemakaian, kerusakan mulai tampak nyata. Sambungan jembatan bergeser, tembok penahan mulai retak, plat landasan mengalami keretakan, dan permukaan jembatan yang mulai halus memperbesar risiko tergelincir, terutama saat hujan turun. Kekhawatiran bukan lagi tentang kenyamanan, melainkan tentang keselamatan.
Kepala Desa Sumbersecang, Sukron Waliyudin, hanya bisa menghela napas panjang. “Kami hanya bisa pasrah, sambil berharap ada uluran tangan dari pemerintah. Kalau pun anggaran belum bisa turun karena efisiensi, kami mohon ada solusi sementara. Mungkin jembatan darurat yang lebih kuat, dari besi atau kanal H bekas yang bisa dimanfaatkan dari DPUPR,” ujarnya dengan mata menerawang.
Dengan suara yang berat, ia menambahkan harapan yang lebih mendesak, “Bulan Mei nanti, warga kami akan menghadapi panen raya padi. Dan setelahnya, di bulan Agustus, akan masuk musim tembakau. Kedua momen ini sangat penting untuk perekonomian masyarakat. Bagaimana mereka bisa mengangkut hasil panen kalau aksesnya seperti ini? Kami khawatir hasil kerja keras petani tak bisa sampai ke pasar karena terhambat jembatan yang tak layak.”
Bagi warga, jembatan ini bukan sekadar penghubung dua daratan ia adalah penghubung harapan, rezeki, dan masa depan. Seperti Aminah, pemilik toko kelontong di Dusun Krajan, yang kini harus dua kali seminggu ke Pasar Maron untuk kulakan barang.
“Biasanya cukup sekali seminggu karena ada sales yang datang bawa mobil. Sekarang mereka nggak bisa lewat jembatan gantung, jadi saya harus bolak-balik sendiri, mana jembatannya kalau dilalui bergoyang goyang semakin parah” kisahnya.
Ketidakpastian ini terus membayangi aktivitas sehari-hari warga. Anak-anak sekolah, petani, pedagang, bahkan tenaga kesehatan semua harus bertaruh nyawa setiap kali melintas.
Kami, warga Sumbersecang, tidak meminta lebih. Kami hanya ingin bisa hidup dan bekerja dengan rasa aman. Kami ingin anak-anak kami pergi ke sekolah tanpa takut. Kami ingin ibu-ibu bisa berbelanja tanpa khawatir jatuh. Dan kami ingin terus hidup tanpa rasa was-was setiap kali melewati jembatan yang kini hanya digantungkan pada harapan.
Kami memohon kepada pemerintah, bukalah hati dan lihatlah Sumbersecang. Karena bagi kami, jembatan bukan sekadar konstruksi besi dan kayu ia adalah urat nadi kehidupan yang kini mulai melemah. (Arifin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar