Program makan gratis yang dicanangkan pemerintah patut diapresiasi sebagai langkah konkret untuk meningkatkan gizi anak-anak di sekolah. Namun, seperti banyak program sosial lainnya, pelaksanaan di lapangan kerap menghadapi tantangan. Salah satunya, kekhawatiran soal keamanan makanan dan teknis pelaksanaannya yang dinilai masih terlalu rumit.
Dalam percakapan melalui WhatsApp dengan seorang orangtua siswa yang aktif menyuarakan perbaikan sistem pendidikan dan kesejahteraan anak, Utin Rita muncul sebuah gagasan yang menarik dan layak untuk dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan.
“Program makan bersama sebaiknya tidak terlalu birokratis. Kalau bisa, pelaksanaannya diserahkan ke orangtua siswa secara bergiliran, dengan pengawasan dari sekolah. Dana tetap dari pemerintah, tapi disalurkan secara transparan kepada tiap orangtua secara bergantian di satu kelas,” ungkapnya.
Menurut Utin Rita, skema seperti ini pernah diterapkan di sekolah anaknya dan berjalan cukup efektif. Orangtua yang bertugas menyajikan makanan akan lebih berhati-hati dalam memilih bahan, menjaga kebersihan, dan memastikan nilai gizi. Selain karena menyajikan untuk anak sendiri, ada rasa tanggung jawab moral terhadap seluruh teman sekelas sang anak.
Model pelaksanaan seperti ini juga dapat meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan seperti keracunan makanan, yang sempat mencoreng program makan gratis di beberapa daerah. Dengan sistem desentralisasi pelaksana, risiko terjadinya kesalahan massal lebih kecil karena makanan disiapkan dalam skala yang lebih kecil dan terkendali.
Selain itu, program makan gratis juga bisa menjadi ajang mempererat hubungan antarorangtua dan sekolah. “Gotong royong antarorangtua bisa tumbuh, dan ini juga menjadi pembelajaran nilai sosial bagi anak-anak,” tambah Utin yang dikenal juga di akun pribadinya @Utinrita24.
Tentu, implementasi ide ini memerlukan penyesuaian dan komitmen dari semua pihak. Tidak semua orangtua memiliki waktu atau kemampuan memasak, namun hal itu bisa diatasi dengan pembagian tugas, kerja tim, atau dukungan dari sekolah. Yang terpenting adalah semangat partisipasi dan transparansi.
Pemerintah sebaiknya mulai membuka ruang untuk berbagai model pelaksanaan yang lebih kontekstual dan dekat dengan masyarakat. Tidak semua harus dipusatkan atau diseragamkan. Dengan memberikan kepercayaan kepada komunitas sekolah—terutama para orangtua—program makan gratis akan lebih berdaya guna, tepat sasaran, dan tentu saja lebih aman.
Karena pada akhirnya, siapa yang lebih peduli pada makanan anak-anak, selain orangtuanya sendiri?
Catatan:
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dan pengalamanya di lapangan. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat menanggapi dengan terbuka sebagai bahan pertimbangan perbaikan kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar