Wartawan SNN.com, Kotawaringin Barat
Sabtu 27 September 2025
Pangkalan Bun – Sudah hampir tiga dekade, keluarga besar ahli waris Raden Ira Bakti menghadapi persoalan pelik menyangkut lahan warisan ratusan hektare yang mereka yakini sebagai hak turun-temurun. Lahan tersebut berada di wilayah Desa Umpang, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dan kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh sebuah perusahaan besar nasional, PT GSDI, yang merupakan anak usaha dari PT Astra Agro Lestari Tbk.
Bagi keluarga, ini bukan sekadar perkara tanah. Lebih dari itu, ini adalah soal sejarah, identitas, dan warisan leluhur yang sudah melekat sejak masa Kerajaan Kutaringin.
Raden Ira Bakti, atau Gusti Zainal, adalah sosok terpandang di masa lalu. Ia dikenal sebagai pejabat tinggi dan tokoh masyarakat yang dekat dengan istana Kerajaan Kutaringin. Berdasarkan penuturan keluarga dan ingatan kolektif masyarakat setempat, beliau menerima sebidang tanah sebagai bentuk penghargaan langsung dari Raja atas pengabdiannya kepada kerajaan.
Lahan tersebut berada di hulu Sungai Arut, tepatnya di kawasan Kampung Umpang, dengan ukuran yang tidak kecil: ± 3.000 depa di sepanjang tepian sungai dan ± 7.000 depa ke arah daratan. Di atas tanah inilah, Raden Ira Bakti membangun rumah besar dan tinggal bersama keluarganya.
Hingga kini, keturunannya masih menjaga dan menghuni kawasan tersebut, bahkan beberapa makam para ahli waris masih ditemukan di sana—di tengah lanskap yang kini telah berubah menjadi kebun kelapa sawit.
Sungai Sengkilau dan Jejak Keluarga
Salah satu cucu Raden Ira Bakti, Utin Imar, mengenang bagaimana ia semasa kecil kerap menyusuri anak-anak sungai bersama sang ayah, Gusti Sekara (putra sulung Raden Ira Bakti). Dalam satu perjalanan, air sungai yang tampak berkilau memunculkan ide penamaan: Sungai Sengkilau Besar dan Sengkilau Kecil.
Catatan nama itu ditulis tangan oleh Utin Imar dalam buku harian ayahnya, dan sejak saat itu, Kampung Sengkilau menjadi nama yang lekat dalam memori keluarga dan masyarakat setempat.
Sebagai cicit dari Raden Ira Bakti, saya—melalui garis keturunan Gusti Zaimi dan ibu saya, Utin Marmi—juga merasakan langsung kehidupan di sana. Saya masih ingat bagaimana di usia 12 tahun, saya ikut mudik bersama kakek saya, Gusti Hasan (putra keempat Raden Ira Bakti), ke Kampung Sengkilau. Kami menyusuri sungai, memetik buah durian, langsat, manggis, dan mengambil hasil hutan seperti getah pantung, jelutung, dan rotan.
Bahkan menurut cerita keluarga, kayu ulin dari kawasan ini dahulu pernah dipesan khusus oleh pengusaha dari Pulau Jawa untuk bantalan rel kereta api.
Pertanyaan besar kini menggantung tanpa jawaban:
Bagaimana mungkin lahan yang secara sosial, historis, dan adat telah dikuasai keluarga Raden Ira Bakti selama puluhan tahun kini dikelola sepenuhnya oleh korporasi besar?
Apakah tidak ada proses pendataan yang menyeluruh sebelum pembukaan lahan berskala besar dilakukan?
Apakah suara masyarakat adat dan pewaris sah tidak cukup kuat untuk dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan?
Konflik ini mencerminkan wajah rumit persoalan agraria di Indonesia—di mana legalitas administratif kerap kali berbenturan dengan legitimasi sejarah dan sosial.
Tulisan ini bukan untuk menyudutkan pihak mana pun. Kami memahami bahwa investasi dan pembangunan adalah hal penting untuk kemajuan daerah. Namun, keadilan dan penghargaan atas sejarah serta hak masyarakat lokal tidak boleh diabaikan.
Sebagai bagian dari keluarga besar Raden Ira Bakti, kami hanya meminta pengakuan yang adil atas sejarah dan hak kami yang telah terjaga selama puluhan tahun. Kami membuka ruang musyawarah, dan siap mengikuti mekanisme hukum dan adat untuk penyelesaian.
Kami yakin, kebenaran tidak akan lekang oleh waktu, dan sejarah tidak bisa dihapus demi kepentingan jangka pendek.
Semoga tulisan ini bisa menjadi ruang refleksi bagi semua pihak—bahwa melindungi warisan leluhur dan menjunjung keadilan sosial adalah pondasi penting dalam membangun hubungan harmonis antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.
Catatan penulis :
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan kisah nyata keluarga dan sejarah lokal. Untuk keberimbangan informasi, pihak terkait berhak memberikan hak jawab sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar