Dari Kampung Kue Rungkut hingga bantaran kali Surabaya, perpustakaan hadir bukan hanya untuk membaca, tetapi menjadi pusat interaksi, simbol martabat, dan ruang transformasi sosial.
Oleh : Endang Gunarti
“Perpustakaan adalah rumah ide, tetapi ide hanya hidup jika digunakan,” tulis Neil Gaiman, penulis dan aktivis literasi. Kutipan ini terasa relevan ketika melihat banyak perpustakaan komunitas di Indonesia yang fungsinya tidak melulu soal membaca buku. Di beberapa kampung kota, perpustakaan justru menjadi panggung pertemuan, ruang usaha, bahkan simbol kebanggaan warga.
Di bantaran Sungai didaerah Medokan Semampir sampai daerah Jagir, Surabaya, beberapa perpustakaan berdiri sederhana dengan rak kayu dan ratusan buku sumbangan dari para donatur. Siang itu sepi pengunjung, namun warga tetap menjaga tempat ini. Bagi mereka, perpustakaan adalah tanda bahwa komunitas di bantaran sungai punya modal budaya yang layak diakui, seperti istilah Pierre Bourdieu: pengakuan sosial melalui simbol. Menurut Bourdieu, modal budaya tidak hanya berupa pengetahuan atau keterampilan intelektual, tetapi juga simbol, artefak, dan institusi yang memberi pengakuan sosial. Perpustakaan komunitas terpinggirkan sering kali berfungsi sebagai modal simbolik — tanda bahwa komunitas tersebut berhak diakui setara dengan komunitas lain yang lebih mapan. Dalam konteks ini, keberadaan perpustakaan menjadi bentuk cultural branding: “Kami punya perpustakaan, artinya kami bagian dari dunia yang beradab.” Saat itu, ketika di hadapkan dengan penggusuran, mereka menyatakan, kami siap di atur, kami akan ikut jaga kali Surabaya.
Fenomena ini juga terlihat di Kampung Kue Rungkut. Di sini, perpustakaan berada di tengah sentra UMKM kue. Rak buku ada, kursi tersedia, tetapi setiap hari justru dipenuhi ibu-ibu yang membicarakan resep, teknik kemasan, atau memamerkan hasil produksi di ruang sebelah. Fungsi literasi yang berjalan adalah literasi ekonomi, bukan literasi teks. Di Dolly, kawasan yang dulu dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, terdapat perpustakaan komunitas menjadi penanda perubahan identitas. Sebelum penutupan lokalisasi pada 2014, perpustakaan dihadirkan untuk menunjukkan Dolly yang “lampu merah” masih dapat berubah untuk menjadi kampungnya menjadi produktif dan kreatif. Buku memang jarang tersentuh, tetapi perpustakaan ini mengemban makna simbolik yang besar sebagai bukti transformasi sosial.
Kasus serupa terjadi di Tambak Bayan. Kawasan ini kerap mendapat stigma negatif, sehingga perpustakaannya sering dijadikan etalase saat ada kunjungan pejabat atau liputan media. Namun di luar momen itu, aktivitas literasi cenderung terbatas. Fungsi utamanya lebih sebagai bukti bahwa kampung ini juga peduli pendidikan.
Fenomena ini juga terlihat Di Yogyakarta. Perpustakaan yang di inisiasi oleh Romo Mangun, yang dibangun di bantaran Sungai Code memiliki fungsi lain yang unik. Letaknya di kawasan padat dengan tingkat kerentanan sosial tinggi, perpustakaan ini menjadi tempat aman bagi anak-anak bermain, belajar, dan berkumpul. Buku memang ada, tetapi yang lebih menonjol adalah peranannya sebagai ruang netral — tempat yang bisa diakses siapa saja tanpa rasa terancam.
Menurut Perpustakaan Nasional RI (2023), Indonesia memiliki sekitar 164 ribu perpustakaan, dengan lebih dari 60% berada di sekolah atau madrasah. Perpustakaan komunitas, terutama yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat dan dibantu oleh beberapa NGO, menghadapi kendala besar: koleksi jarang diperbarui, dana operasional minim, pengelolaan bergantung pada relawan, dan aktivitas literasi hanya ramai ketika ada event khusus. Banyak perpustakaan komunitas dibangun dengan tujuan mulia, tetapi tanpa strategi berkelanjutan. Akibatnya, perpustakaan tetap berdiri secara fisik, namun nyaris tidak berfungsi sebagai pusat belajar. Andaikan di Kampung Kue Rungkut, diperkaya dengan koleksi buku tentang resep, teknik pemasaran digital, dan manajemen usaha akan bisa membuat perpustakaan lebih relevan dengan aktivitas warganya. Perpustakaan di daerah Dolly, selain mengadakan pelatihan keterampilan kreatif dapat dipadukan dengan dokumentasi sejarah lokal. Di bantaran Sungai Code, literasi anak dapat digabungkan dengan kegiatan seni, musik, dan permainan tradisional. Sutanto (2020), pakar literasi masyarakat, menyatakan: “Perpustakaan yang hidup adalah perpustakaan yang menjadi bagian dari denyut ekonomi, sosial, dan budaya warganya.
Buku hanyalah satu dari banyak pintu masuk.” Sayangnya, kebijakan literasi di tingkat daerah masih cenderung mengukur keberhasilan perpustakaan dari indikator seragam: jumlah koleksi, jam buka, dan fasilitas fisik. Padahal, Aini (2021) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa relevansi program dengan kebutuhan nyata warga adalah penentu keberhasilan yang jauh lebih penting. Jika Surabaya ingin mempertahankan citra sebagai Kota Literasi, diperlukan pengakuan bahwa literasi tidak hanya diukur dari jumlah buku yang dibaca. Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan memanfaatkan informasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Ibu-ibu di Kampung Kue yang membicarakan resep dan strategi pemasaran sebenarnya juga sedang berliterasi — meski bentuknya berbeda dari membaca novel atau ensiklopedia. Kita perlu mengubah paradigma dari “perpustakaan sebagai rak buku” menjadi “perpustakaan sebagai pusat kehidupan komunitas”. Seperti yang diungkapkan Ranganathan (1931) dalam Five Laws of Library Science: “Perpustakaan adalah organisme yang tumbuh.” Pertumbuhan itu bisa bercabang mengikuti arah kebutuhan masyarakatnya. Jika kita menerima dan mengoptimalkan cabang-cabang itu, perpustakaan komunitas akan tetap menjadi simbol martabat dan jantung interaksi sosial, bukan sekadar rak buku yang berdebu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar