Oleh: Gusti Syahwani – Wartawan SNN.com Kobar
Kamis, 7 Agustus 2025
Di balik kemegahan Astana Al Nursari yang berdiri anggun di tepi Sungai Lamandau, tersimpan jejak panjang perjalanan sejarah Kerajaan Kutaringin. Tak hanya istana yang menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu, di kawasan ini juga terdapat makam-makam para raja yang pernah memimpin wilayah ini dengan kearifan dan kejayaan.
Makam Para Raja: Penjaga Warisan Leluhur
Salah satu situs penting adalah Kompleks Makam Kuta Tanah yang berada di Kotawaringin Lama. Di sinilah dimakamkan raja-raja Kutaringin dari generasi ke-2 hingga ke-8. Lokasi ini tak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir mereka, tapi juga menjadi bukti nyata keberadaan para tokoh sejarah yang berperan penting dalam perjalanan panjang Kesultanan Kutaringin.
Menariknya, makam Raja Pertama Kutaringin, Pangeran Antakusuma, tidak berada di Kotawaringin, melainkan di Kampung Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia wafat setelah kembali ke tanah leluhurnya di Kesultanan Banjar, dan dimakamkan di kompleks makam para Sultan Banjar sebelum ibu kota kerajaan berpindah ke Martapura.
Kompleks makam Kuta Tanah sendiri memiliki luas sekitar 30 x 20 meter, dikelilingi pagar kayu ulin dan sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya sejak tahun 1980-an. Di dalamnya terdapat lebih dari 30 makam, termasuk makam keluarga kerajaan.
Dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun
Pangkalan Bun, yang terletak di hilir Sungai Arut dan bermuara ke Laut Jawa, dulunya bernama Pangkalan Bu'un. Seiring waktu dan masuknya para pendatang, nama itu berubah menjadi Pangkalan Bun seperti yang kita kenal sekarang.
Ketika kerajaan berpindah dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun pada masa pemerintahan Sultan Imanuddin (Pangeran Ratu Imanuddin) pada tahun 1811, pusat pemerintahan juga bergeser. Di sinilah dibangun sebuah istana baru yang kini dikenal sebagai Istana Kuning.
Pembangunan istana ini dimulai pada tahun 1809 dan rampung pada 1811. Namun, bangunan aslinya musnah dalam kebakaran hebat tahun 1986. Istana Kuning yang sekarang berdiri adalah hasil rekonstruksi yang selesai pada tahun 2000, mengacu pada bentuk aslinya.
![]() |
Meriam peninggalan Belanda /VOC di Halaman Istana Kuning |
Empat Arsitektur, Empat Permaisuri
Salah satu keunikan istana ini adalah empat bangunan utama yang merepresentasikan asal-usul keempat permaisuri Sultan Imanuddin: satu dari Tionghoa, satu dari suku Dayak, dan dua dari suku Melayu.
Bangunan paling kiri adalah Pendopo atau Bangsal, yang berarsitektur rumah Betang khas Dayak.
Di sebelahnya ada Balai Rumbang, dihiasi motif khas Cina.
Dua bangunan lainnya—Dalam Kuning dan Rumah Besar—memiliki atap khas Melayu.
Sebuah bangunan kecil digunakan sebagai dapur dan gudang.
Kini, kompleks ini telah diresmikan sebagai objek wisata sejarah, sekaligus pusat edukasi budaya Kerajaan Kutaringin.
Sangga Buana: Tiang Bendera Penyangga Bumi
Di sisi kiri istana, terdapat sisa tiang bendera dari kayu ulin setinggi 17 meter yang kini telah roboh. Tiang ini dahulu berdiri gagah dan disebut Sangga Buana, simbol penyangga bumi atau benua. Di bawahnya terdapat prasasti tahun 1996 yang menjelaskan sejarah pendirian tiang tersebut. Menurut cerita kerabat kesultanan, Sangga Buana didirikan bersamaan dengan perpindahan pusat kerajaan dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun pada tahun 1811, dan dikenal pula dengan sebutan Datuk Batu Hitam.
Kompleks istana dan makam para raja ini bukan sekadar peninggalan arsitektur, melainkan monumen hidup sejarah yang menyimpan warisan kejayaan Kutaringin di masa silam. Sebuah situs penting yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan harapan di masa depan.
Bersambung ke Bagian III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar