Jakarta, SNN.com - Generasi masa depan dan Milenial yang saat ini berjumlah kurang lebih 174,79 juta atau kurang lebih 64,69% dari populasi Indonesia harus dibekali soft skill atau kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, berkomunikasi, berinovasi, dan berkreasi. Ingat, sekarang bukan lagi era keterampilan teknis (technical skill). Era saat ini bukan lagi bicara technical skill, tapi soft skill atau non-technical skill, yaitu kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, komunikasi, dan kreatif,”
Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan populasi dalam enam generasi, yaitu Post Gen generasi masa depan yang cerdas, Gen Z, Milenial, Generasi X (Gen X), Baby Boomer, dan Pre-Boomer. Post Gen Z lahir pada 2013 dan seterusnya (kini berusia maksimal 7 tahun). Sedangkan Gen Z lahir pada 1997-2012 (saat ini berusia 8-23 tahun), Milenial lahir pada 1981-1996 (24-39 tahun), Gen X lahir pada 1965-1980 (40-55 tahun), Baby Boomer lahir pada 1946-1964 (56-74 tahun), dan Pre-Boomer lahir sebelum 1945 (75 tahun ke atas).
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 (SP2020), Gen Z dan Milenial mendominasi penduduk Indonesia yang per September 2020 mencapai 270,20 juta jiwa. Gen Z berjumlah 74,93 juta atau 27,94% terhadap total penduduk, Milenial 69,38 juta (25,87%), Gen X 58,65 juta (21,88%), Baby Boomer 31,01 juta (11,56%), Post Gen Z 29,17 juta (10,88%), dan Pre-Boomer 5,03 juta (1,87%).
Data BPS menunjukkan, proporsi penduduk usia produktif pada 2020 mencapai 70,72% dari populasi dibanding 53,39% pada 1971. Berarti Indonesia sedang menikmati bonus demografi, yaitu potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur usia penduduk, di mana proporsi usia kerja (15-64 tahun) lebih besar dari bukan usia kerja (0-14 tahun dan di atas 64 tahun). Bonus demokrasi diperkirakan mencapai puncaknya pada 2040-2050.
TIDAK SIAP KERJA
H.Hendi stafsus hukum ham stafsus ekonomi mengungkapkan, sistem pendidikan Indonesia belum memenuhi target atau apa yang diamanahkan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Kita adalah salah satu negara yang mutu SDM-nya terendah, mulai dari kemampuan membacanya, kemampuan matematikanya. Itu harus segera dibenahi, salah satunya dengan membuat dan menyusun strategi besar (grand design), cetak biru (blueprint), atau peta jalan (road map) pendidikan Indonesia,”
Menurut H.Hendi, cetak biru pendidikan harus memuat antara lain waktu untuk memulainya, dari mana, akan dibawa sampai ke mana, dan berapa besar biayanya. “Sayangnya, kita entah belum, mau, atau belum mampu menyusun seperti itu. Beberapa tokoh pendidikan masih melihat arah peta jalan yang dibuat Kemendikbud tidak jelas,”
Padahal, kata H.Hendj, jika Gen Z, Post Gen Z, dan Milenial memiliki soft skill yang mumpuni, hingga 20 tahun ke depan (2021-2040) bangsa Indonesia bisa menikmati bonus demografi berupa pertumbuhan ekonomi 9% per tahun, angka pengangguran dan kemiskinan yang rendah, serta kesejahteraan yang meningkat. Dengan begitu pula, Indonesia akan terhindar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
H.Hendi menjelaskan, program pemerintah dan dunia usaha untuk mengoneksikan dunia pendidikan dan dunia kerja belum berhasil karena tidak ada blueprint-nya. “Makanya pengusaha bilang, SDM Indonesia tidak ada yang siap kerja. Mereka harus training dahulu, bahkan yang level S1,”
H.Hendi mencontohkan Bali sebagai destinasi wisata terbesar di Indonesia, di mana jumlah wisatawan terbesarnya berasal dari Tiongkok. Tetapi sekolah pariwisata di Bali tidak menyiapkan lulusan berbahasa mandarin. "Akhirnya banyak orang dari daerah lain, bahkan negara lain, bekerja sebagai tour guide. Destinasi wisata lain juga demikian," jelas dia.
H.Hendi mengatakan, pada 2030 terdapat sekitar 800 juta pekerjaan manusia yang akan digantikan oleh komputer, robot, dan teknologi canggih, sehingga 375 juta orang harus berganti profesi.
World Economic Forum (WEF) juga memprediksi 65% dari anak-anak yang kini duduk di bangku SD bakal bekerja pada bidang yang hari ini belum ada. "Berarti apa yang terjadi dalam 20-30 tahun ke depan, hanya 35% yang tersisa dari apa yang ada saat ini,"
H.Hendi mengatakan, harus ada perombakan besar dalam sistem pendidikan nasional. "Kita semua berharap, Mendikbud kita yang digital millenial ini bisa melakukannya. Tapi sayangnya langkahnya belum ke sana,”
H.Hendi mengemukakan, pada 2014 Bank Dunia mengeluarkan kajian yang lebih detail mengenai karakter, yang disebut social emotional skill. Kajian ini mengacu pada hasil survei terhadap ribuan perusahaan di seluruh dunia dalam mencari keterampilan sosial emosional atau karakter yang dibutuhkan saat merekrut karyawan.
Kajian Bank Dunia menunjukkan, terdapat delapan karakter yang paling dicari, disingkat PRACTICE, yakni Problem solving (kemampuan memecahkan masalah), Resilience (ketangguhan atau tidak gampang menyerah), Achievement motivation (motivasi untuk berprestasi), Control (pengendalian diri), Teamwork (kolaborasi), Initiative (inisiatif), Convidence (kepercayaan diri), dan Ethics (etika).
"Waktu paling optimal untuk pertumbuhan karakter adalah usia SD. Kalau mau membangun bangsa maka kuatkanlah di SD. Kita terbalik, justru fokus pemerintah di SMK dan perguruan tinggi, karena secara politik ini yang paling kelihatan. SD malah paling lemah, anggarannya paling kecil, sekolahnya paling banyak rusak, gurunya berkualitas dan berkapasitas paling lemah,"ujarnya.
H.hendi mengatakan pentingnya dunia pendidikan di nomor satukan untuk generasi masa depan bangsa yang cerdas. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar