Sorot Nuswantoro News

Berita Online dan cetak, "CEPAT, TEPAT, LUGAS DAN BERANI" dari LAMONGAN untuk NUSANTARA

Sabtu, 06 Mei 2023

Serahkan Piring Putih Ke LAB Kubar. Syahrun: Kita Melaporkan Erika Siluq Kerap Jual Nama Adat Dayak

Kepala Adat kampung Dingin R. Syahrun serahkan Piring Putih ke Ketua Dewan Lembaga Adat Besar kab Kutai Barat Manar Dimansyah.
Kutai Barat, SNN.com - Kepala Adat (Kadat) kampung Dingin kecamatan Muara Lawa kabupaten Kutai Barat (Kubar), Robertus Syahrun datangi kantor Lembaga Adat Besar (LAB) kabupaten Kubar. Kedatangan Syahrun kali ini bukanlah bertamu seperti biasanya, namun membawa Piring Putih sebagai tanda atau bukti mengadukan Erika Siluq secara adat.

Tak sendiri. Kali ini Syahrun bersama ketua badan permusyawaratan kampung (BPK) Dingin membawa sarana adat berupa Piring putih ke LAB dan diterima langsung oleh kepala adat besar kabupaten, Manar Dimansyah Gamas.

“Saya menyerahkan piring putih ini kepada kepala adat besar sebagai pimpinan saya, masalah bu Erika Siluq sering menjual nama adat Dayak di kampung Dingin,” kata Syahrun kepada media SNN.com dan RRI Sendawar (ekslusif) di kantor Lembaga Adat Besar kabupaten di Taman Budaya Sendawar (TBS) Barong Tongkok. Rabu (3/5/2023) pagi.

Menurut Syahrun, dia melaporkan Erika Siluq ke dewan adat kabupaten karena Erika sering berkoar-koar mengatas namakan adat Dayak untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Diantaranya Erika dituding meminta uang pengamanan kepada group tambang illegal alias tambang koridor hingga menutup tambang resmi PT Energi Batu Hitam (EBH) di kampung Dingin beberapa waktu lalu.

“Menutup tambang, kemudian malak jalan, untuk perusahaan koridor mendapat uang 350 juta. Kwitansinya ada di wartawan sama intel tunjuk sama saya,” beber Syahrun dengan mantap.

Selain itu dia menyebut Erika Siluq memotori gerakan penutupan kantor PT EBH hingga memblokade jalan tambang dengan alasan perusahaan menggusur lahan dan wilayah adat tanpa kompensasi.

Padahal sepengetahuan Syahrun, lahan yang dituntut Erika Cs belum digusur PT EBH.
“Makanya saya menyerahkan sepenuhnya kepada kepala adat besar, nanti bapak kepala adat besar yang menyidang mereka,” tegas Syahrun.

Menurut Syahrun, lahan dekat gudang bahan peledak (handak) PT EBH seluas 6 hektare itu bukan milik Erika. Tetapi milik kakaknya yakni Priska dan ibu Jene. Kemudian jalan dan lokasi gudang handak yang dituntut Erika tersebut dengan modus karena digusur dan merusak tanam tumbuh, padahal ujar Syahrun sudah dibayar PT EBH kepada pamannya Erika yang bernama Pagi.

“Tanahnya Priska saudaranya bu Erika dan tanahnya bu Jene belum tersentuh pihak perusahaan. Jadi setahu saya lahan gudang handak itu bukan lahan mereka bu Erika, Priska, atau bu Jene. Karena saya seorang kepala adat juga saya tahu permasalahan yang ada di perusahaan. Kalau memang itu benar ya kita tidak tinggal diam,” ungkap Syahrun.

Syahrun, yang juga mantan camat Muara Lawa itu menegaskan, tuntutan Erika soal perusahaan merusak hak ulayat adat tidaklah benar.

“Mereka selalu membawa nama adat, nama suku, nama kampung, padahal itu urusan pribadi mereka aja. Ini yang saya jaga karena bagaimanapun kalau sudah jual suku, ras, agama itu bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” tegasnya.

Menurut Syahrun, jika memang ada urusan adat yang dilanggar perusahaan atau kepolisian maka waktu polisi menangkap 12 orang pada 25 Maret lalu pasti dibela masyarakat setempat.
“Karena memang masyarakat Dingin tau bahwa itu salah, hanya sekelompok mereka Erika dan saudara-saudaranya aja. Boleh cek di Polres yang masuk (ditahan) itu kan tidak semua orang Dingin, malah orang Kalteng. Orang Dinginnya cuma mereka satu rumah.

“Jadi murni masalah pribadi tapi mereka ini mengatasnamakan suku, nama adat. Sementara mereka tidak pernah melaporkan ke kepala adat. Termasuk ke kepala adat besar kabupaten. Ini pelecehan terhadap kepala adat, tidak dihargai sama sekali,” tutur pensiunan pegawai negeri sipil tersebut.

Sementara itu terkait tambang koridor di wilayah Dingin menurut Syahrun, hanya segelintir orang. Itupun dia tidak tau menau karena tidak ada koordinasi samasekali dengan dirinya.

“Contoh menerima uang dari koridor ya mereka sendiri. Saya ini kalau terima ya busuk perut saya. Tidak ada satu perak pun saya terima,” terang kepala adat di ring satu PT EBH tersebut.

Alasan lain, dia melaporkan Erika Cs ke lembaga adat kabupaten karena perbuatan Erika Cs yang sempat menutup jalan tambang ikut merugikan masyarakat yang bekerja di PT EBH dan PT Riung Lestari (RML).

“Saya ini kasian perut orang. Ada 479 karyawan lokal yang bekerja di situ. Sampai ada yang cerai, motornya disita karena tidak bisa bayar kredit akibat penutupan tambang oleh Erika Cs itu,” beber Syahrun.

Dikesempatan yang sama. Ketua BPK Dingin, Hendro menambahkan, tuntutan Erika Cs terlalu mengada-ada. Apalagi banyak isu yang beredar di luar tidak sesuai fakta. Pertama tuntutan soal ganti rugi lahan kata Hendro sudah ada komunikasi dengan PT EBH tetapi Erika Cs menolak nilai yang ditawarkan. Kemudian soal pencemaran lingkungan tidak terbukti berdasarkan hasil verifikasi dan uji lab dinas lingkungan hidup. Sedangkan mengenai tenaga kerja ternyata banyak warga setempat yang menjadi karyawan di PT EBH.

“Pencemaran lingkungan itu kan sudah terbantahkan. Dalam keterangan Polda Kaltim dan hasil dari dinas lingkungan hidup Kutai Barat itu tidak terbukti,” katanya.

“Yang kedua karyawan di kampung Dingin bereaksi saat Ibu Erika tutup tambang. Jadi masyarakat lokal tidak dapat kesempatan kerja itu sudah terbantahkan,” tambah Hendro.

“Yang ketiga masalah lokasi tanah itu kan ada suratnya dan sudah dibebaskan atas nama pak Pagi. Ibu Priska sendiri menandatangani surat pembebasan sebagai pemilik yang berbatasan langsung dari pak Pagi. Jadi apalagi yang perlu dipertentangkan. Jangan sampai mereka menyebar berita hoax di luar,” lanjutnya.

Laporan kepala adat dan BPK Dingin itu ditanggapi kepala adat besar kabupaten Kutai Barat, Manar Dimansyah. Ia menilai wajar jika warga setempat protes dengan aksi Erika Cs yang membawa-bawa nama adat demi kepentingan pribadi. Baik masalah tambang koridor maupun tambang resmi.

“Karena merasa bahwa mereka (kelompok Erika) telah mempolitisir adat atau dapat dikatakan menjual adat untuk mencapai kepentingan mereka. Terbukti dengan ada kwitansi penerimaan uang (tambang koridor) dari kelompok tersebut dengan alasan jasa keamanan,” ucap Manar.

Sementara itu terkait dengan politisasi adat dalam sengketa PT EBH sebut Manar, sangat tidak elok. Sebab Erika Cs tidak melibatkan lembaga adat kampung maupun kabupaten sebagai representase masyarakat adat.

“Iya itulah yang mendasari pemikiran kepala adat Kampung Dingin kenapa beliau sampai menyampaikan keberatan. Karena memang itu kan masalah pribadi dan kelompok, tidak ada kepentingan masyarakat adat secara luas. Tetapi yang diteriakkan itu adalah ada penindasan, ada kesewenang-wenangan terhadap hak masyarakat adat, seolah-olah PT EBH melakukan penindasan dan perampasan hak masyarakat adat, padahal tidak benar demikian,” ujar Manar.

Kepala adat besar kabupaten yang kembali terpilih untuk periode kedua ini menyebutkan, sesuai hasil penelusuran tim lembaga adat tidak menemukan ada unsur kesewenang-wenangan perusahaan atau aparat dalam proses hukum warga Dingin.

“Jadi kalau meneriakkan tentang ada penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap hak masyarakat adat ya kita sejauh ini belum menemukan bukti tentang jejak itu. Kemudian dalam perspektif kita, kita melihat bahwa pihak Polres Kutai Barat tetap dalam koridor mereka sebagai aparat. Kita tidak melihat ada kesewenang-wenangan polisi, tegas Manar.

“Kita justru memberi apresiasi bahwa memang polisi harus memberi pengayoman seluas-luasnya kepada masyarakat tetapi terhadap hal-hal tertentu, hukum tidak boleh lemah dan kalah,” tambah kepala adat besar Kubar ini.

Manar mengimbau seluruh masyarakat Kubar agar menghargai lembaga-lembaga adat yang ada dan tidak mencampuradukan urusan pribadi dengan hukum adat.

“Saya menghimbau agar tidak ada seorangpun bertindak atas nama dirinya sendiri, atas nama kelompok dan organisasinya untuk pencapaian kepentingannya lalu menyebutkan bahwa ini adalah penindasan, perampasan dan kesewenang-wenangan kepada masyarakat adat.

“Lembaga adat itu yang punya otoritas dan kewenangan menetapkan seseorang bersalah atau melakukan pelanggaran. Jadi saya imbau agar jangan mempolitisir atau menggadai dan menjual adat untuk pencapaian kepentingan pribadi. Karena adat di sini berlaku semua tidak hanya berlaku kepada suku-suku tertentu,” tutup Manar.

Reporter : Johansyah
Editor      : Wafa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOROT NUSWANTORO NEWS "dari LAMONGAN untuk NUSANTARA"