Jakarta, SNN.com - Setiap momen pemilihan umum, baik pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, pemilu DPD, maupun pemilu presiden, masyarakat selalu dicekoki oleh berbagai macam kontrak politik. Para calon sering menyodorkan kontrak politik untuk melegitimasi dirinya dalam ajang kompetisi politik tersebut. Persoalannya adalah benarkah kontrak politik dapat dijadikan alas hak bagi rakyat untuk menggugat kandidat ke pengadilan agar memenuhi apa yang sudah menjadi komitmennya atau melaporkan secara pidana ke penyidik dengan dasar suatu tindak pidana, misalnya, penipuan? Dapatkah kontrak politik itu di-enforce (ditegakkan) secara hukum?
Menurut H.Hendi stafsus hukum ham RI & stafsus ekonomi, Fenomena kontrak politik, terlebih sekarang menjelang pemilihan presiden, sebenarnya merupakan sebuah refleksi dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap apa yang sering diucapkan atau yang dijanjikan oleh seorang calon presiden. Dikatakan sebagai refleksi dari krisis kepercayaan rakyat karena dengan kontrak politik tersebut, seorang calon perlu meyakinkan rakyat mengenai komitmen politiknya dalam sebuah kontrak di mana ucapannya secara lisan sudah tidak dapat lagi menjadi pegangannya. Ini adalah sebuah pertanda degradasi moral bagi para calon yang bersyahwat ingin memimpin negeri ini.
Kontrak politik yang sering dilakukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum tanpa suatu klasifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klasifikasi hukum. Karena dibuat dengan bahasa yang abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakkan dalam ranah hukum (non enforceable). Karena kontrak politik tidak memiliki implikasi yuridis, selembar kontrak politik hanyalah seonggok kertas yang tidak bermakna apa pun.
Kontrak politik sengaja dibuat dengan suatu bahasa yang abstrak. Misalnya, jika terplilih menjadi presiden, akan memperjuangkan aspirasi rakyat. Tidak jelas apa makna memperjuangkan serta tidak jelas apa yang dimaksud dengan aspirasi rakyat. Karena tidak ada tolok ukur variabel-variabel tersebut, sulit jika si pengontrak politik tersebut sudah jadi presiden dapat di-judgment bahwa ia telah melanggar kontrak politik.
H. Hendi menyampaikan, Kontrak politik kadang mengandung klausul yang ‘lucu’. Klausul tersebut, misalnya, jika dia terpilih nanti, gajinya akan diberikan kepada rakyat. Tidak dijelaskan rakyat yang mana, kapan akan diberikan, dan caranya bagaimana. Jika faktanya nanti setelah terpilih, gajinya diserahkan pada anak dan istrinya, si kandidat tersebut tidak melanggar kontrak politik, karena istri dan anaknya adalah bagian dari rakyat.
Terdapat pula isi kontrak politik yang menunjukkan kenaifan si calon presiden. Misalnya, jika terpilih menjadi presiden, dia akan mencabut undang-undang tertentu. Dikatakan naif karena mencabut suatu undang-undang bukan kewenangan seorang presiden. Presiden adalah lembaga eksekutif dan bukan lembaga legislator yang punya kewenangan membuat ataupun mencabut sebuah undang-undang.
Sering pula dalam suatu kontrak politik, kandidat melibatkan seorang notaris dengan maksud agar tercipta suatu persepsi bahwa kontrak politik itu adalah suatu dokumen hukum dan dapat dijadikan pegangan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ini juga kesalahkaprahan yang bersangkutan. Keterlibatan notaris dalam kontrak politik biasanya hanya melegalisasi atau melakukan warwerken (pencatatan tanggal). Jika yang dilakukan seperti itu, surat yang dilegalisasi atau di-warmerk tersebut tidak bisa menjadi suatu akta otentik, melainkan tetap menjadi sebuah surat biasa.
Kontrak politik bukanlah sebuah peraturan perundang-undangan karena bukan dibuat oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas, berbeda dengan GBHN pada zaman dulu dan RPJPM pada zaman sekarang. Kontrak politik juga bukan sebuah kontrak hukum bagi para pihak yang dapat dituntut pemenuhannya melalui sebuah lembaga hukum yang berbentuk pengadilan. Hal ini karena isi dan ruang lingkup kontrak politik sangat umum dan abstrak, sedangkan kontrak hukum haruslah detail. Ini karena hukum pada hakikatnya adalah perdetailan. Tanpa ketentuan yang detail, akan sangat sulit men-judgment bahwa yang menandatangani kontrak telah melakukan wanprsetasi.
Selain itu, efektivitas kontrak politik juga sangat layak disangsikan. Di negeri yang fatsun politiknya tidak dipegang oleh para politisi, jangankan sebuah kontrak politik, suatu putusan pengadilan pun dengan tanpa beban tidak ditaati oleh banyak pejabat pemerintah. Ada suatu penelitian yang membuktikan bahwa lebih dari 85 persen putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak ditaati oleh pejabat TUN. Jika putusan pengadilan pun tidak ditaati, apalah arti sebuah kontrak politik.
Memilih pemimpin sejatinya tidak dapat hanya melihat apa yang akan dilakukan ke depan, baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam sebuah kontrak politik. Memilih pemimpin harus melihat apa yang telah dilakukan selama hidupnya ke belakang. Semua orang tentu akan dapat dengan mudah mengatakan dengan lisannya tidak akan korupsi, tapi catatan sejarah membuktikan hal itu bahwa tidak semua orang bisa melakukannya.
Karena itu, berhati-hatilah terhadap sebuah kontrak politik yang dilakukan siapa pun. Janganlah memilih pemimpin negeri ini hanya berlandaskan pada selembar kontrak politik. Sebab, jika itu dilakukan, rakyat tinggal menunggu waktu kekecewaan saja. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar