Sorot Nuswantoro News

Berita Online dan cetak, "CEPAT, TEPAT, LUGAS DAN BERANI" dari LAMONGAN untuk NUSANTARA

Sabtu, 18 Maret 2023

Gagal Bayar Pinjaman Fintech, Bisakah Dikenakan Pidana?

Jakarta, SNN.com - H.Hendi.E.SE.AK.SH.MH Stafsus Hukum Ham RI & Stafsus Ekonomi disela sela kesibukannya menyampaikan kepada media sorotnuswantoro mengenai ( Gagal Bayar Pinjaman Fintech, Bisakah Dikenakan Pidana ? )

Perusahaan fintech sering mengancam gugatan pidana kepada debitur saat menagih tunggakan pinjaman.

Penggunaan jasa pinjaman online atau financial technology (fintech) peer to peer lending semakin masif saat ini. Kemudahan dalam meminjam dana menjadi salah satu kelebihan layanan jasa keuangan ini dibandingkan perbankan. Dalam hitungan hari, pinjaman dapat langsung dicairkan tanpa perlu repot-repot mendatangi bank.

Sayangnya, perkembangan industri fintech ini juga lekat dengan stigma negatif dari masyakarat khususnya dalam penagihan. Publik sering mengeluhkan mekanisme penagihan perusahaan fintech secara intimidatif hingga mengandung pelecehan seksual. Besarnya jumlah pengaduan masyakarat tersebut terlihat dari publikasi yang pernah disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Salah satu ancaman yang dilakukan perusahaan fintech dalam penagihan tersebut berupa laporan kepada kepolisian untuk dikenakan sanksi pidana. Menghadapi ancaman tersebut, masyarakat awam hukum tentunya merasa khawatir menghadapi gugatan tersebut. Lantas, apakah secara yuridis peminjam dapat dikenakan sanksi pidana apabila gagal mengembalikan pinjaman pada perusahaan fintech?

H.Hendi pakar Hukum menjelaskan penegak hukum tidak bisa menjerat debitur yang tidak mampu membayar pinjaman tersebut. Sebab, permasalahan ini termasuk kategori perjanjian utang-piutang sehingga bukan ranah pidana melainkan PERDATA

Tidak bisa seseorang dipidana karena tidak mampu membayar pinjaman. Sebab ini masuknya ke ranah PERDATA,” jelas H.Hendi

H.Hendi menjelaskan ketentuan tersebut telah diatur dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Apabila, aparat penegak hukum tetap memberikan sanksi pidana kepada debitur maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU.

UU HAM
Pasal 19
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Lebih lanjut, H.Hendi menilai regulasi fintech yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi belum mampu mengatasi persoalan sengketa ini. Sebab, isi aturan tersebut tidak terdapat lembaga penyelesaian sengketa di industri fintech sehingga setiap penyelesaian sengketanya dikaitkan dengan ranah pidana.

Perlu ada mekanisme penyelesaiannya (sengketa). POJK 77 dan kode perilaku saja tidak cukup,” jelasnya

Tidak hanya itu, isu pelanggaran HAM juga dianggap terjadi dalam persoalan penagihan pinjaman ini. Perusahaan fintech yang dapat mengakses perangkat telepon seluler berisiko menggunakan data pribadi peminjam tanpa izin. Bahkan, H.Hendi membandingkan dengan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan yang harus terlebih dahulu mengajukan perizinan saat mengakses atau penyadapan terhadap seseorang.

Penyadapan (akses data pribadi) ini harus berizin ketua pengadilan tertinggi. Tapi ini (perusahaan fintech) kenapa bisa langsung begitu saja menyadap handphone seseorang,” jelas H.Hendi

Menurutnya, ragam persoalan ini tidak lepas dari longgarnya pengaturan pada industri fintech. H.Hendi mencontohkan aturan POJK 77/2016 tidak mengatur batasan bunga wajar yang dapat ditetapkan perusahaan fintech. Sehingga, kondisi tersebut berisiko terjadi tingkat suku bunga yang memberatkan masyarakat.

H.Hendi selaku Pakar Hukum menjelaskan berkomitmen untuk menyelesaikan segala pengaduan pelanggan fintech dari semua pihak. Menurutnya, perlindungan konsumen merupakan aspek serius untuk ditangani pihaknya.

Jika ada pengaduan yang melibatkan anggota asosiasi akan kita selesaikan. Namum pengaduan di luar anggota atau fintech ilegal seharusnya diselesaikan di Bareskrim atau cyber crime,” jelas H.Hendi

Sangat perlu juga menjelaskan pihaknya telah menyusun kode perilaku yang harus dipatuhi setiap anggotanya. Kode perilaku tersebut telah mengatur mekanisme penagihan, penggunaan data pribadi nasabah hingga tingkat bunga pinjaman.

Apalagi perusahaan fintech menagih secara intimidatif dan teror kepada para nasabahnya. Kemudian, pihaknya juga telah melarang total biaya pinjaman melebihi 0,8 persen per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.

Sehingga, peminjam yang tidak melunasi utang dalam 90 hari akan bunga pinjaman serta dendanya tidak melebihi 100 persen dari total pinjaman,” jelas H.Hendi

Tidak hanya itu, untuk memitigasi peredaran pinjaman online ilegal, asosiasi juga menerapkan sertifikat lembaga penagihan. Sertifikasi tersebut untuk menetapkan standar mekanisme penagihan sehingga tidak melakukan pelanggaran hukum seperti penyalahgunaan data nasabah dan kewajiban melaporkan prosedur penagihan.

Kode perilaku dan langkah-langkah perlindungan ini menegaskan komitmen kami dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab kepada nasabah maupun penyelenggara,” jelas H.Hendi

H.Hendi menyampaikan agar lembaga masyarakat yang menerima pengaduan pelanggaran fintech berizin untuk segera memberikan data kepada pihaknya. Nantinya, data tersebut akan ditindaklanjuti berupa pemberian sanksi apabila terbukti terjadi pelanggaran hukum perusahaan fintech.

Sampai saat ini instansi yang terkait masih bekerja untuk menuntaskan penjol  yang sudah jelas meresakan masyarakat dengan bunga diluar dari ketentuan yang Bank BI tetapkan ( Red )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOROT NUSWANTORO NEWS "dari LAMONGAN untuk NUSANTARA"