Sorot Nuswantoro News

Berita Online dan cetak, "CEPAT, TEPAT, LUGAS DAN BERANI" dari LAMONGAN untuk NUSANTARA

Selasa, 19 November 2019

BPH Majelis Adat Aru Dinilai Tidak Becus

Kepulauan Aru, SNN.com - Fanly Nada SH, selaku keluarga korban, dalam kasus Lakalantas di Kecamatan Aru Tengah Benjina, mengatakan bahwa UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak pasal 5 ay. 1 menyebutkan, Sistim Peradilan Pidana Anak, wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.

Dia menjelaskan, pendekatan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Sekarang masalah Lakalantas yang terjadi di Kecamatan Aru Tengah Benjina, bulan agustus 2019 jatuhkan  korban dua pejalan kaki, masing-masing satu orang korban meninggal dunia atas nama Unce Erumkui Umur 7 Tahun. jenis kelamin Perempuan, agama Kristen Protestan, pekerjaan Pelajar SD, dan satu korban patah kaki, atas nama Amrosius Nada, Umur 14 tahun, jenis kelamin Laki-laki, agama Kristen Protestan, pekerjaan Pelajar SMP. Menurut Fanly, Korban meninggal dunia sudah mendapat santunan BPJS 50 Juta rupiah, sementara korban patah kaki ditelantarkan begitu saja.

“Korban Patah Kaki ditelantarkan begitu saja, Padahal sudah jelas dalam UU, harus mengutamakan pendekatan restortatif atau pemulihan kembali. Sebagai keluarga, kami sangat sesalkan sistim penanganan yang terkesan menelantarkan korban begitu saja, "Kesalnya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Kepulauan Aru, M Putnarubun S.Ipem, yang dikonfirmasi diruang kerjanya belum lama ini mengatakan bahwa, dalam persoalan Lakalantas di Kecamatan Aru Tengah Benjina, pihaknya hanya sebagai pendamping. Jadi kami hanya sebagai pendampingan, tetapi untuk persoalan hak-hak, tentang kepastian hukum, itu bukan tugas kita. itu ada dipolisi.

"Kita mendampingi hanya untuk masalah phisiologi korban saja, karena memang sesuai UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak, itu memang harus ada Diversi, atau sistim peradilan diluar pengadilan. Sisitim diversi ini kadang orang berpikir tidak ada proses hukum, padahal itu juga bagian dari proses hukum diluar pengadilan. Untuk itu dalam prosesnya anak selaku korban maupun pelaku, kami selalu disurati untuk melakukan pendampingan, "Jelasnya.

Ketua Badan Pekerja Harian, Majelis Adat Aru, (BPH MAA) Kabupaten Kepulauan Aru, Elisa Darakay, S.Ag, sebagai lembaga adat yang bertanggungjawab dalam peyelesaian hukum Diversi, ketika dikonfirmasi, mengaku pihaknya belum mengetahui sejauh mana tindak lanjut masalah dimaksud.

Sebagai keluarga korban, Fanly Nada, SH., juga menyesalkan sikap ketidak tahuan ketua Umum BPH MAA kabupaten Kepulauan Aru, Elisa Darakay, yang turut hadir dalam proses penyelesaian diversi yang difasilitasi pihak Lantas Polres Kepulauan Aru beberapa waktu lalu, namun tindaklanjut masalah tersebut belum jelas sampai sekarang.

“masalah itu kan dikendalikan dari Polres ke Majelis Adat Aru, dalam Hal ini yang hadir waktu itu adalah Bpk. Ely Darakay selaku Ketua Umum Badan Pekerja Harian, Majelis Adat Aru. Bagaimana sekarang dikatakan tidak tahu, Seharusnya sebagai Lembaga Adat Aru, Bpk. Ely Darakay harus kawal masalah tersebut, bukan sebaliknya tidak tahu. Penyelesaian Hukum diversi itu adalah proses diluar pengadilan. Sekarang andai kata dia (Ely Darakay) tidak tahu, bagaimana kita bisa mendapat titik penyelesaiannya. Ini berarti penyelesaian ditingkat Majelis Adat Aru, dinilai tidak becus, "tukasnya.

Reporter : Moses K
Editor     : AWI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOROT NUSWANTORO NEWS "dari LAMONGAN untuk NUSANTARA"