Sorot Nuswantoro News

Berita Online dan cetak, "CEPAT, TEPAT, LUGAS DAN BERANI" dari LAMONGAN untuk NUSANTARA

Sabtu, 08 September 2018

Dimana Posisi Masyarakat Desa Setelah Diberlakukannya UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa?

Achmad Wafa Isvianto (Pimred Sorotnuswantoronews)
Sorotnuswantoronews - Sejak diimplementasikan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, posisi Masyarakat Desa lebih dominan dijadikan hanya sebagai materi pembicaraan atau wacana saja di tingkat Pemerintah Kabupaten, Provinsi hingga Pusat yang akhir-akhir ini menjadikan Desa sebagai objek telaah.

Masyarakat Desa hanya wacana, belum pada tahap implementasi. Hal ini terbukti dari berbagai ragam kegiatan yang dilaksanakan hanya melibatkan Kepala Desa, Perangkat Desa, pengurus Badan Permusyawarahan Desa (BPD), Pendamping Desa, dan lain sebagainya. Posisi masyarakat desa masih saja menjadi objek, belum menjadi subjek dari proses pembangunan yang dilaksanakan.

Posisi masyarakat desa dalam pelaksanaan pemerintahan desa tetap sebagai "sapi perah" bagi kepentingan sekelompok orang saja maupun pemerintahan yang ada diatasnya. Misalnya, untuk kepentingan Pemilihan Kepala Desa, barulah masyarakat desa dirayu dan diajak untuk memberikan hak pilihnya. Setelah itu, masyarakat desa pun ditinggalkan.

Hal yang sama juga terjadi, saat dilaksanakannya Reses ke daerah pemilihan Anggota DPRD/DPR, masyarakat desa hadir sebagai penggembira. Kalau pun dalam kesempatan reses itu ada disampaikan saran/usul dan unek-unek dari masyarakat, yang seharusnya dapat dikerjakan pemerintah (eksekutif) tidak akan diketahui implementasinya. Dikerjakan atau tidak, hanya anggota DPRD/DPR yang reses dan mitra kerjanya yang mengetahuinya.

Bahkan sampai ada dugaan banyak orang, program reses yang dilaksanakan dengan mengundang sejumlah warga untuk bertemu di suatu tempat, tidak lain hanya formalitas belaka. Posisi masyarakat desa tetap hanya sebagai penggembira dan objek penderita.

Ada juga masyarakat desa dihadirkan dalam sebuah forum hanya untuk memenuhi ruangan yang disediakan. Kesempatan menyampaikan usul/saran maupun gagasan sama sekali tidak diberikan. Mereka hanya diberikan kesempatan untuk foto bersama dengan latar belakang spanduk yang bertuliskan nama kegiatan dan dilengkapi gambar tokoh tersebut.

"Mereka dihadirkan hanya untuk memenuhi ruangan saja, dan sekaligus bahan dokumentasi bagi pengundang untuk bukti pelaporan pertanggung jawaban anggaran negara yang telah dipakai".

Yang namanya proses sosialisasi maupun desiminasi atas program-program yang akan maupun sedang dilaksanakan masih cenderung formalistik dan administratif. Belum ada upaya menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan pengetahuan masyarakat desa sehingga timbul partisipasi.

Pihak pemerintah selaku organ pelaksana pembangunan di desa pada umumnya juga, masih jarang melibatkan masyarakat desa, apalagi di saat proses Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Sepertinya belum ada kesempatan diberikan kepada masyarakat desa untuk mempertanyakan ataupun memberikan usul dalam proses tersebut.

Padahal, cara seperti ini akan sangat merugikan pembangunan itu sendiri. Walaupun pada tingkat wacana sering diungkapkan agar masyarakat berpartisipasi dalam setiap denyut pembangunan. Namun partisipasi masyarakat desa tidak ditumbuhkan, mereka hanya dijadikan sebagai objek belaka?

Persoalan lainnya, hingga saat ini belum ada terlihat daftar kegiatan pemerintah yang sudah disusun, khususnya pemerintah desa untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat desa untuk mengikuti peningkatan kapasitas atau pengetahuannya sebagaimana diikuti para Kepala Desa, Perangkat Desa, BPD dan Pendamping Desa.

Jika demikian yang terjadi, dimanakah sebenarnya posisi masyarakat desa setelah diberlakukannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa? Pembangunan dan Pemberdayaan yang dilaksanakan Pemerintah mulai tingkat Pusat hingga Desa dengan pagu anggaran cukup besar dari APBN/APBD, untuk siapa sebenarnya diperuntukkan?

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOROT NUSWANTORO NEWS "dari LAMONGAN untuk NUSANTARA"